Kamis, 12 April 2012

Fish

Fish: Add a touch of nature to your page with these hungry little fish.  Watch them as they follow your mouse hoping you will feed them by clicking the surface of the water.

Kamis, 01 Desember 2011

Ruang Remang


RUANG REMANG


Aku melihat setitik cahaya di sana
Di sudut ruangan yang gelap
Bukan!
Bukan gelap sebenarnya tapi remang-remang
Aku senang melihatnya meski itu hanya sebuah titik yang jika di sandingkan dengan cahaya lampu cahaya itu takkan terlihat

Ya, aku senang
Karena dari percikan kecil itu ada harapan untuk menjadi cahaya yang terang
Dan akhirnya memenuhi ruang remangku
Sepercik cahaya itu mampu menuntunku untuk mencari arah jendela
Dan aku pun membukanya

Ya, setitik cahaya itu mampu menuntunku membuka mata
Menatap dunia
Dan mengabarkan bahwa dunia itu tak sesempit lingkaran
Saat masalah menatapku dengan garang senyumku adalah kemenangan

PENCURI TULANG

        Kucing itu meraung kesakitan. Darahnya bercucuran deras. Tak akan ada yang iba dengan rintihan seeokor kucing kumuh yang terkapar di gang becek dengan cahaya lampu remang. Sesekali lampu itu hidup lalu redup kembali.
        Kulitnya mengelupas sadis. Jangan di kira kucing tak bisa menangis. Matanya merah marah. Marah? Kemarahan itu hanya mampu ia lampiaskan dari lukisan mata liarnya. Karena raganya sudah tak berdaya lagi.
        Prak!! Duk! Duk! Klontang! Segala bentuk peralatan dapur melayang mengejar satu titik yang larinya lebih kencang dari si pelempar. Namun sepandai-pandai tupai melompat, pun ia bisa terjatuh juga. Sebuah landen kayu tepat mengenai pelipis kepala si kucing. Ia tetap berlari kencang. Namun mendadak kakinya me-rem. Segala penjuru ruang itu tak bercelah. Bahkan lubang semutpun tak ada. Ia terpojok. Dadanya kembang kempis. Dengan senyum dingin nan garang makhluk mengerikan berwajah manusia itu mendekatinya. Tak terlintas dalam bayangan si kucing, pemiliknya yang seolah menyayanginya ternyata meluapkan kebenciannya dari hentakan kaki sampai ubun-ubun. Hanya karena satu alasan, mencuri tulang.
        Satu ember air menenggelamkan napasnya. Darahnya berceceran di lantai dapur. Setelah puas melampiaskan amarah yang  meluap, kucing malang itu di lempar begitu saja ke pinggir jalan. Baru kemarin ia di elus, di manja dan di beri makanan enak. Ternyata semua itu hanya sebuah sandiwara.
        Rintik hujan memang tak selebat tadi, tapi riuh kediaman seorang lelaki paruh baya lebih ramai dari derasnya hujan. Mobil hijau dengan plat hijau mengerubungi rumahnya. Sirinenya memekik di telinga. Sungguh membuat miris hati orang yang mendengarnya. Lelaki paruh baya itu keluar rumahnya dengan tatapan menunduk malu. Sebuah borgol mengikat tangannya yang masih berbekas darah si kucing malang yang ia lempar. Lelaki itu bak  orang kaya yang dikawal dua bodyguard gagah di belakangnya hanya karena ia mencuri daging.
        Dan di seberang sana, lelaki baya bertubuh gemuk dengan perut membuncit tengah tertawa girang mendapati kabar bahwa kacungnya di tangkap sebagai kambing hitam atas perbuatannya mencuri beribu-ribu sapi.

***

        Malam gelap membayangi rumah mewah dengan tiang gagah penuh wibawa. Mengabarkan kepada semua orang kehebatan dan kekuasaan yang di miliki sang pemilik rumah. Kabut tipis menyelimuti istana putih pencakar langit itu. Bunyi deru mobil bersirine dan lampu merah berputar-putar di atasnya memecah keheningan sementara. Kini isak tangis hanya menjadi pengiring. Tiada guna. Jasad pucat dengan perut membuncit itu di bopong memasuki ambulan dan di larikan ke rumah sakit untuk di visum. Dan yang mengejutkan, hasil visum menyatakan bahwa lelaki baya itu meninggal karena terlalu banyak mengkonsumsi daging. Bukan hanya daging seekor sapi, tapi beribu-ribu sapi. Dan jasatnya yang selalu di elu-elukan dan selalu menduduki kursi terhormat kini hanya di anggap sebagai sebuah bangkai tak berguna.

Jumat, 18 November 2011


SI MANCUNG

      Seorang gadis seolah tak merasakan sengatan terik matahari yang kian meninggi. Atau bahkan ia mengabaikannya. Ada hal lain yang lebih menyita perhatiannya daripada sekedar terik matahari yang harus ia rasakan setiap harin Senin. Padahal biasanya setiap hari Senin tiba, ia selalu mengomel sendiri. Teman-temannya hafal di luar kepala dengan kebiasaan buruk gadis itu. Dan hari ini adalah hari yang berbeda baginya. Hari yang aneh bagi teman-temannya karena mereka tak lagi mendengarkan omelan panjang yang sebenarnya juga bukan di lontarkan pada mereka. Omelan seorang siswi yang selalu mengeluh saat ia harus berjemur di bawah terik sinar matahari setiap hari Senin. Entah terkena angin apa, gadis itu tersenyum sendiri bak orang gila.
      Seorang pria dengan seragam uraknya mampu menyita perhatiannya. Rambutnya bagai tersengat listrik bertegangan tinggi, meski banyak remaja yang bilang itu style. Badannya kurus kerempeng. Keringatnya yang bercucuran memantulkan cahaya matahari yang membuat mata gadis itu tak berkedip memandangnya. Tapi bukan itu prioritas utamanya. Ada hal yang lebih penting yang membuatnya terasa terbang ke awang-awang. Hidungnya yang mancung bak burung betet membuat ia terjatuh dalam khayalan tingkat tinggi. Meski hidung pria itu tak semancung pinokio.
      Teman-temannya heran sendiri di buatnya. Mereka pikir, teman mereka kesambet atau bahkan berubah menjadi gila karena kebanyakan marah-marah. Berulang kali teman yang berada di sebelahnya mengayunkan tangan di depan kelopak mata gadis itu. Namun hanya sia-sia belaka. Ternyata aura pria itu mampu menyihir pikirannya.
      “Ya! Ya!! Kamu kenapa sih? Sadar Ya!!” Ana, teman yang berada di sampingnya menggoyang-goyangkan tubuhnya.
      “Apaan sih? Berisik! Diam aja deh!” Ria marah. Ia merasa terganggu dengan perhatian teman karibnya itu. Mereka terus saja berbicara saat upacara.
      Alunan paduan suara yang melantunkan lagu kebangsaan tak lagi Ria dengar. Telinganya terasa tersumbat. Ana mencoba memberi isyarat agar tangan Ria di letakkan di depan kening sebagai penghormatan kepada sang merah putih. Akhirnya Ria sadar juga, dan bergegas melakukan apa yang teman-temannya lakukan saat itu.
      Ternyata pemuda itu benar-benar membuatnya gila. Ia mulai menciptakan dunia imajinasi yang di penuhi dengan bunga-bunga cinta dan aneka perasaan yang membias di antara warna-warna cerah pelangi di langit-langit hatinya.
      “Ya! Ayo kembali ke kelas! Ya! Ria!!” Ana menggoyang-goyang bahu temannya yang terperangkap dalam dunia khayalan. “RIA!! UPACARANYA UDAH SELESAI!! AYO KEMBALI KE KELAS!!” hilang sudah batas kesabaran Ana. Suara Ana yang menggelegar mampu menyedot perhatian banyak orang yang ada di sampingnya. Ana hanya nyengir setelah menyadari banyaknya orang yang memperhatikannya. Tanpa banyak bicara lagi, Ana menyeret tangan Ria untuk kembali ke kelas. Namun, dua bola mata gadis bernama lengkap Ayatul Khoiriyyah itu tetap saja melempar pandangannya kepada si mancung. Begitu ia menyebutnya dalam hati. Karena ia tak tahu siapa nama pemuda itu. Tak ada satu orang pun yang tahu apa yang tengah ia rasakan saat itu.
      Ria belum tahu siapa nama si mancung itu, karena si mancung adalah anak baru di madrasahnya. Tepatnya di Madrasah Tsanawiyah kelas VIII. Namun, pesona si mancung ia rasakan begitu kuat. Kini yang ada di benaknya hanyalah wajah si mancung, terutama hidungnya. Entah aura apa yang di pancarkan si mancung itu hingga Ria begitu tergila-gila kepadanya. Bahkan pada pandangannya yang pertama.
      Di kelas Ria, ulangan Fisika tengah berlansung. Namun sayangnya, pikirannya banyak terkuras sebelum ia ulangan. Tak henti-henti ia membayangkan hidung pada sesosok pria yang baru saja ia kagumi.  Ulangan Fisika hanya ia habiskan untuk memikirkan pemuda itu. Sesekali ia menahan tawanya, karena jika sekali saja ia keceplosan tertawa di saat ulangan, maka seisi kelas akan memperhatikannya. Bahkan bisa menganggap dirinya orang aneh. Ana yang juga teman sebangkunya di buat bingung atas tingkah lakunya. Ana melirik secarik kertas lembar jawaban yang berada di atas meja, tepatnya di depan Ria. Namun, mata Ana melotot memandangnya. Bukan karena meneliti kertas tersebut, tapi karena kertas itu masih sangat bersih seperti ketika pertama kali guru Fisika mereka memberikannya lima puluh menit yang lalu.
      “Ya! Ya!” Ana menarik ujung kerudung Ria perlahan.
      “Apaan sih?” Rio sewot.
      “Lihat jam itu!” ucap Ana dengan nada agak meninggi.
      “Apa??!!” akhirnya apa yang di khawatirkan Ria terjadi juga. Suaranya yang keras membuat mata seisi kelas memperhatikannya. Begitu pula dengan guru Fisikanya. Waktu yang tersisa untuk mengerjakan ulangan tinggal sepuluh menit lagi. Bagaimana ia dapat mengerjakan sepuluh soal dalama waktu sepuluh menit? Bahkan untuk pelajaran Fisika. Kepalanya mendadak pusing. Berkali-kali ia memukul kepalanya sendiri, sesekali ia menggigit bibirnya lalu mendesah panjang. Ana menyodorkan lembaran kertas hasil kerjaannya di atas lembaran kertas Ria yang masih kosong. Spontan Ria menoleh. Senyumnya mulai mengembang.
      “Makanya, lain kali jangan kebanyakan melamun!!” Ana agak marah.
      Ria nyengir, “Maaf deh! Makasih ya!” dengan sigap Ria menyalin teks dalam naskah Ana ke dalam naskahnya.
     
      Berhari-hari Ria menjalankan misi sebagai detektif untuk mencari tahu tentang si mancung. Anak baru yang berbeda kelas dengannya. Tapi sayang, misinya membuat semua orang curiga kepadanya. Apalagi teman-teman satu kelas si mancung. Karena memang dia tidak berbakat menjadi detektif. Meski begitu, usahanya untuk mencari informasi berhasil juga. Nama si mancung itu sebenarnya M. Rifa’i. Anak yang baru pindah karena di keluarkan dari sekolah lamanya sebab ulahnya yang sangat nakal. Kenakalannya itu nampak sekali dari caranya berpakaian yang urakan. Namun, meski Ria mengetahui keburukan Rifa’i, dia tetap saja mengagumi anak itu. Apalagi hidungnya. Setelah mendapat banyak informasi, Ria kembali ke kelasnya yang berada di lantai bawah. Namun ketika kakinya baru saja menginjak anak tangga, ia seperti tersihir. Dua bundaran matanya yang berbinar-binar tiada henti mengikuti gerak-gerik pemuda di depannya. Tanpa ia rasa, bibirnya kembali menyunggingkan senyum, dan itu membuat Rifa’i membalas senyumnya. Alangkah berbunganya hati Ria. Jantungnya berdegup kencang. Pena yang ada di tangannya ia peras-peras. Keringat dinginnya bercucuran dan merambat pada pena yang ia pegang. Pemuda itu melangkahkan kaki menaiki anak tanga, karena memang kelasnya berada di lantai dua. Mata mereka saling bertemu, namun dengan segera Ria menundukkan pandangannya, ia masih memiliki perasaan malu dalam hatinya. Tidak sepantasnya ia melakukan hal itu. Meski matanya tetap saja mengajaknya untuk memandang seseorang yang baru saja menyusup dalam hatinya. Kembali ia menuruni anak tangga. Namun anak tangga yang ia injak seolah bergoyang dan itu membuat langkahnya sempoyongan karena ia salah tingkah. Namun ia tetap berusaha meluruskan langkahnya. Kini Rifa’i berada tepat di sampingnya. Ekor matanya tak dapat lagi menahan untuk tak melirik Rifa’i yang telah berada di belakangnya. Namun bayangannya segera menghilang.
      Ria tersenyum riang di setiap hentakan langkah kakinya menuju kelas. Hatinya amat berbunga-bunga karena di hari yang masih pagi, ia telah mendapat senyuman dari orang yang ia kagumi. Bahkan ia tak peduli, senyum apa itu. Meski itu hanyalah senyum Rifa’i untuk membalas Ria yang tersenyum kepadanya. Apapun itu, ia bahagia.
      Sampai juga ia di kelas. Semakin hari, Ana semakin curiga dengan tingkah temannya itu.
      “Hai An!” Ria mengatur posisi duduknya. Ana berada di depan papan tulis, belum selesai ia membersihkan papan tulis, ia menghampiri Ria. Rasa penasarannya membuatnya menaruh penghapus papan tulis tersebut.
      “Ya, kamu kenapa sih?” tanya Ana. Hanya senyuman yang Ria lontarkan. “Ya! Sebenarnya kamu kenapa sih? Aku perhatiin beberapa hari ini kamu aneh tahu nggak! Senyum-senyum sendiri, kayak orang gila!” nada bicara Ana semakin meninggi.
      Spontan Ria menoleh, “Yang terakhir jangan di sebutin dong An!! Nggak enak di dengarnya!” Ria agak sewot.
      “Iya-iya sorry. Makanya, jelasin dong! Biar aku nggak su’udzon sama kamu.”
      “Tapi janji ya, jangan bilang siapa-siapa,”
      Ana mengerutkan kening. “Iya, janji! Apaan sih?”
      “Hidungnya mancung banget An!” Ria menggoyang-goyang bahu Ana. Dunia fantasinya mulai ia bangun kembali. Bayangan Rifa’i seolah tak perlu tuk di kunci rapat dalam memorinya. Karena bayangannya telah melekat dalam ingatannya tanpa harus mengelemnya.
      “Kumat penyakitnya!”
      “Kok penyakit sih An?” Ria cemberut.
      “Habisnya setiap kali ada cowok yang hidungnya mancung, reaksi kamu over tahu nggak! Sebenarnya siapa sih yang kamu maksud?”
      “Rifa’i.”
      “Anak baru itu? Jeli banget kamu, sampai tahu kalau hidungnya mancung,” Ana heran.
        Ria masih saja mengulas senyum. “Kalau saja dia jadi pacar aku An, udah aku pites-pites hidungnya!” Ria ambisius.
      “Cuma hidungnya doang yang kamu suka?” Ana semakin heran. Meski ini bukanlah hal yang baru bagi Ana, karena Ana sudah sering kali melihat Ria seperti itu. Tapi yang membuat Ana semakin heran, dari semua laki-laki berhidung mancung, nampaknya ini yang paling ia sukai.
      Ria mengangguk.
      “Kalau orangnya?”
      “Ya... bisa nomor ke berapa aja. Yang terpenting, hidungnya yang sweet itu!” ucap Ria bersemangat.
      Ana menghela napas panjang. “Heran. Ada juga orang yang suka orang cuma hidungnya doang. Kayaknya mata kamu punya insting buat mendeteksi hidung mancung ya!” Ana geleng kepala.

***
   
      Hari Jum’at. Hari libur sekolah di madrasah. Suatu hari yang banyak di nantikan oleh para pelajar. Kecuali para pelajar yang sangat rajin. Mereka tidak akan mengharapkan hari Jum’at datang.
      Biasanya Ria selalu senang dengan datangnya hari Jum’at, karena pikirannya sudah sangat jenuh memandang buku-buku pelajaran yang menjadi makanannya setiap hari. Maka bagi Ria, hari Jum’at adalah hari dimana otaknya beristirahat sejenak. Namun, berbeda dengan hari Jum’at kali ini, otaknya tetap saja beroperasi, bahkan sangat keras. Nampaknya, bayangan si mancung masih terus menghantuinya. Ingin sekali ia memencet hidungnya. Rasa rindunya tak terbendung. Baru kali ini ia merasakan rindu yang tak tertahankan. Dan kerinduan itu di tujukan pada sebuah hidung.
      Akhirnya hari Sabtu tiba juga. Bergegas Ria berangkat ke sekolah. Ria tak sabar lagi ingin bertemu dengan si mancung.
      “Ya! Ana melambaikan tangannya ke arah Ria. Mereka bertemu di depan gerbang sekolah. Mereka berjalan beriringan menuju ke kelas.
      “Ya, lihat siapa yang ada di depan kamu!”
      “Rifa’i ya An?” Ria histeris.
      “Sst... jangan keras-keras!!” Ana meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibirnya. “Tapi sama siapa Ya?” Ana dan Ria meneliti seorang gadis yang tengah berjalan di samping Rifa’i. “Cantik Ya! Kamu sih kalah cantik sama dia,” ledek Ana.
      “Jangan mematahkan semangat orang dong An!” Ria mendengus. Wajahnya yang sumringah mulai meredup. Ria minder jika harus di bandingkan dengan gadis itu.
      Di lantai atas, terdengar sorak-sorai dari kelas Rifa’i. Entah apa yang mereka tertawakan. Tapi pandangan mata mereka tertuju pada Ria dan Ana. Ria dan Ana saling pandang bingung. Rifa’i yang ada di depan mereka juga ikut menoleh ke arah Ria dan Ana. Begitu juga seorang gadis yang berada di samping Rifa’i.
      “Rifa’i! Jangan dekat-dekat sama Jen! Cewek yang ada di belakang kamu cemburu tuh!” teriak seorang teman satu kelas Rifa’i. Mungkin juga anak yang pernah di tanya oleh Ria perihal Rifa’i.
      Teriakan itu terdengar jelas sekali di telinga Ria. Ria kaget bukan kepalang setelah menyadari bahwa ucapan itu di tujukan padanya. Tubuhnya gemetar. Keringat dinginnya mulai bercucuran. Suara tawa itu semakin memojokkannya. Ia raih tangan Ana dan mereka berlari ke kelas mereka.
      “An, kenapa semua anak jadi tahu?” Ria resah. “Aku malu An! Malu banget!” Ria memegang kepalanya yang nut-nutan di atas meja.
      “Aku juga nggak tahu Ya! Mungkin sikap kamu buat mereka curiga. Dan gosip itu semakin merambat,” terang Ana.
      “Terus gimana dong An? Aku pasti malu banget kalau ketemu sama mereka. Apalagi sama Rifa’i. Belum lagi gadis di sampingnya itu,” Ria mulai cemburu. Ia gelisah tak karuan. Jatungnya berdetak tak karuan. Kegugupannya dapat di rasakan oleh Ana.
      “Ya! Kamu beneran suka sama Rifa’i? Aku tadi denger teriakan anak-anak kelas atas,” tanya Anisah yang baru ikut nimbrung.
      “Hmm.......,” Ria geram. Ia tak tahu harus berkata apa.
      “Jadi kamu juga dengar Sah?” tanya Ana.
      “Semua anak juga dengar An. Tapi mungkin mereka bingung, siapa salah satu di antara kalian yang suka sama Rifa’i. Soalnya tadi yang ada di belakang Rifa’i kan kalian berdua. Tapi aku bisa nebak kok! Kalau yang suka Rifa’i itu Ria. Soalnya aku sering mergokin kamu lagi mandang Rifa’i Ya! Pandangan kamu dalem.... banget!!” jelas Anisah.
      “Aduh... jadi sekarang nama aku juga ikut terseret nih Sah?” kini Ana juga ikut bingung. Sedangkan Ria hanya diam mematung dengan beribu pikiran buruk tentang imagenya.
      “Tapi saran aku nih Ya, mendingan lupain si Rifa’i. Jangan mengkhayal terlalu jauh. Karena dia udah ada yang punya,” ucap Anisah.
      “Apa? Udah ada yang punya?” ucap Ria dan Ana hampir bersamaan.
      “Cewek yang tadi jalan sama dia itu, namanya Jeni. Anak kelas VII. Dasar Rifa’i, anak baru tapi cepat banget punya pacar. Dia itu nakal Ya, jadi jangan sampai kamu menaruh hati sama dia,” tutur Anisah.
      Ria mendadak lunglai. Ia patah hati. Harapannya ludes seketika.
      “Cie cie... yang lagi jatuh cinta!!!” teriakan itu membuat Ria spontan bediri dari kursinya. Ternyata teriakan itu berasal dari teman satu kelasnya yang baru saja masuk kelas. Muka Ria semakin lebam. Matanya berkaca hendak mengeluarkan air mata, namun ia tahan. Ia merasa kini ia bukanlah anak SD lagi yang belum punya malu kalau menangis. Kembali ia duduk di kursinya sambil melipat tangannya dan memakai tangannya sebagai sandaran kepala. Ia amat sangat malu hari ini.

***

      Berhari-hari Ria tak masuk sekolah hanya karena takut di ejek teman-temannya. Ria memang malu jika menangis di depan teman-temannya. Tapi tak dapat di pungkiri bahwa sikapnya masih kekanak-kanakan. Berkali-kali ibunya bertanya kenapa ia tak mau sekolah. Namun, diam ia rasa adalah jawaban terbaik agar ibunya tidak bertanya lebih jauh. Ia akan lebih malu jika ibu dan bapaknya tahu kalau ia tak mau sekolah hanya karena masalah sepele. Ria sama sekali tak mau keluar dari kamarnya. Ia takut mendapat murka dari bapaknya. Berkali-kali ibunya memegang keningnya, siapa tahu ia sakit. Namun tetap saja dingin. Ibunya semakin bingung. Hingga akhirnya, ibu Ria pergi ke rumah Ana untuk menanyakan apa yang tengah di alami Ria.
      Diam. Mungkin memang Ana dan Ria sudah bersekongkol sebelumnya untuk mengantisipasi pertanyaan dari siapa saja tentang masalah Ria. Meski ibu Ria mendesak Ana, jawaban diam masih di pegang teguh oleh Ana.
      “Kalau kamu tetap tidak mau menjawab ya sudah. Mungkin memang masalah remaja. Tapi ibu minta, kamu ke rumah sekarang dan bujuk Ria untuk kembali sekolah,” bujuk ibu Ria.
      Ana setuju. Itu adalah jalan terbaik untuk berdiskusi dengan Ria. Sekalian menceritakan perkembangan yang terjadi di sekolah ketika beberapa hari Ria tak masuk sekolah.
      Ana telah berada di kamar Ria. Ana mulai menata napasnya untuk memulai bercerita. Telinga Ria mulai ia pasang dengan seksama.
      “Waktu beberapa hari kamu nggak masuk sekolah, gosip kamu suka sama Rifa’i semakin gempar Ya. Soalnya teman-teman pikir, dengan kamu nggak masuk beberapa hari, itu membuktikan kalau kamu malu. Dan kamu malah ketahuan benar-benar suka sama Rifa’i. Jadi, saran aku Ya, sebaiknya kamu sekolah lagi. Nggak usah dengar omongan teman-teman. Nggak ada gunanya,” terang Ana.
      “Tapi aku benar-benar malu An!”
      “Apa sih yang buat kamu malu? Wajar kok, cewek suka sama cowok. Yang nggak wajar itu, suka sama hidung!”
      “Tuh kan, nyindir!”
      “Siapa yang nyindir? Emang kenyataannya gitu kan? Udahlah Ya, jangan mempersulit diri. Lagian kamu juga salah. Masak takjub sama hidung sih! Takjub itu harusnya sama yang menciptakan hidung itu!”
      Ria berpikir sejenak.
      “Yang patut di kagumi itu penciptanya. Kok bisa buat hidung semancung dan seelok hidung Rifa’i. Aku yakin, kamu cuma kagum, bukan cinta sama Rifa’i.”
      “Ternyata kamu bisa ngomong bijak juga ya An!” Ria cengengesan.
      “Aku ngomong serius nih! Cinta kamu sama Rifa’i itu cuma cinta semu yang suatu saat bisa hilang begitu saja. Carilah cinta sejati yang takkan hilang di hati meskipun raga kita telah mati. Cinta abadi kepada Sang Kholiq. Cinta yang tak mengharap imbalan. Kalau cinta kamu sama Rifa’i, ketika apa yang kamu kagumi dari dia hilang, maka cinta kamu sama Rifa’i juga bakal hilang.”
      Ria diam.
      “Dan ketika kamu mengikuti omongan orang lain, maka kamu nggak lebih dari air di atas daun talas. Nggak akan pernah ada benarnya. Karena pandangan satu orang dan orang lain itu berbeda. Di saat menurut sebagian orang kamu benar, belum tentu kamu benar menurut pandangan sebagian lainnya. So, just be your self! Don’t follow them!
      Ria mulai tersenyum memaknai apa yang dari tadi di ucapkan temannya. Kini ia sadar ternyata Ana jauh lebih dewasa darinya. “Besok aku pasti sekolah!” Ria bersemangat. Matanya menerawang dalam. Mencari sebuah arti cinta hakiki dalam perjalanan hidup yang semu ini.
      “Kalau besok teman-teman bilang ‘cie cie... ternyata Ria suka sama Rifa’i!’ gimana?” tanya Ria.
      Common guys! Itu berita basi. Cintanya udah kandas di telan gurun pasir!”
      “Ha..ha....,” mereka berdua hanyut dalam tawa. Kini ibu Ria bernapas lega setelah mendengar percakapan anaknya dengan teman karibnya bahwa ia akan mulai sekolah kembali.

Jika dahsyatnya rasa cinta hanya di lihat dari keindahan seseorang, maka ketika keindahan itu hilang, cinta itu pun akan ikut lenyap bersamanya.